PENDAHULUAN
Mencuatnya berbagai
isu aktual yang dihadapi umat Buddha akhir-akhir ini menyita perhatian banyak
kalangan, terutama para tokoh dan pemerhati Buddhis. Sesuai dengan tugas pokok
dan fungsi yang diemban, kami sebagai penyuluh Agama Buddha berkewajiban untuk
terjun ke lapangan, melihat lebih dekat terkait isu kekinian yang sedang
dihadapi masyarakat. Hal ini dilakukan untuk melihat berbagai permasalahan
sesuai fakta yang terjadi agar tidak menimbulkan kesalahpahaman antara yang
satu dan lainya.
Dari berbagai kunjungan dan identifikasi potensi wilayah di
berbagai daerah di Provinsi Kalimantan Barat dapat ditemukan bahwa umat Buddha
masih mengalami berbagai persoalan pelik yang harus diselesaikan.
Masalah-masalah tersebut kemudian diklasifikasikan untuk dijadikan sebagai
skala prioritas.
Secara umum, masalah yang dihadapai adalah terkait dengan perkawinan,
oleh karena itu masalah menjadi skala prioritas utama untuk segera mendapatkan
perhatian dan segera dicarikan langkah-langkah untuk menyelesaikannya. Faktor-faktor
penyebab utama pelayanan perkawinan Agama Buddha di Kalimantan Barat adalah
pelayanan perkawinan terhadap umat Buddha belum berjalan maksimal sehingga
masih banyak umat Buddha yang tidak memiliki Akta Perkawinan dari Catatan Sipil
setempat.
Masalah
pokok yang hendak diangkat dalam artikel ini adalah implementasi Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahu 1974 di Provinsi Kalimantan Barat terkait upaya
peningkatan pelayanan perkawinan Agama Buddha. Sedangkan tujuan yang hendak
dicapai adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana
implementasi pelayanan perkawinan Agama Buddha, hambatan-hambatan yang
dihadapi, dan strategi yang dapat dilakukan untuk dapat meningkatkan pelayanan
perkawinan.
PEMBAHASAN
Konsep Dasar
Perkawinan
Setiap orang memiliki kebebasan untuk menentukan masa
depanya sendiri. Mereka juga berhak untuk menentukan pilihanya, termasuk
tentang urusan perkawinan. Mau berkeluarga, silahkan. Mau memilih untuk tidak berkeluarga
juga tidak apa-apa.
Meskipun
hampir semua orang sepakat bahwa perkawinan merupakan langkah awal terbentuknya
keluarga, namun setiap warga negara mempunyai kewajiban hukum untuk mentaati
ketentuan dan peraturan perundangan yang berlaku, termasuk tentang pelaksanaan
perkawinan.
Dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 1 disebutkan bahwa perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya, Pasal 2 Ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dan Ayat 2 berbunyi tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundangan yang berlaku.
Apa
yang tersurat pada Pasal 2 Ayat 1 dan 2 mengingatkan kepada kita bahwa perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri untuk membentuk keluarga bahagia dan sejahtera. Adapun perkawinan
tersebut dapat dikatakan sah apabila telah dilakukan pemberkatan perkawinan
oleh rohaniawan (Pandita) sesuai agama masing-masing dan telah dicatatkan di
Catatan Sipil setempat.
Azas Perkawinan
Prinsip
dasar perkawinan di Indonesia menganut azas monogami yaitu seorang laki-laki
hanya diperbolehkan untuk memiliki seorang isteri. Perempuan pun demikian, ia
juga hanya boleh mempunyai seorang suami. Keduanya harus berjuang bersama untuk
saling setia hingga akhir hayat. Namun demikian dalam hukum positif masih
terdapat pengecualian. Bagi orang tertentu dan dalam keadaan tertentu, jika
seseorang terpaksa harus beristri lebih dari satu maka ia harus menempuh jalur
pengadilan.
Tujuan Perkawinan
Meskipun
semua orang memiliki cita-cita berbeda namun pada prinsipnya semua orang
memiliki tujuan agar suatu saat nanti dapat mencapai kebahagiaan. Bagi yang
memilih untuk menempuh kehidupan berkeluarga adalah wajar jika ia memandang
bahwa perkawinan dianggap sebagai langkah awal menuju tercapainya kebahagiaan.
Tujuan
yang hendak dicapai oleh umat Buddha dalam membangun kehidupan rumah tangga
adalah membentuk
keluarga yang sejahtera dan bahagia sesuai Dhamma (Hitāya Sukhāya). Istilah Hitāya
Sukhāya ini dapat kita temukan dalam Visākhapuṇṇamīpūjā
kathā yaitu: “Amhākhaṁ dīgharattaṁ,
hitāya sukhāya” yang artinya demi kesejahteraan dan
kebahagiaan bagi kami untuk selama-lamanya.
Dalam Aṅguttara Nikāya II. 61 Sang Bhagavā menyatakan bahwa
"Perumah tangga, ada empat hal yang diharapkan, diinginkan,
menyenangkan, dan jarang diperoleh di dunia, yaitu : 1)
semoga kekayaan mendatangiku dengan cara yang benar, 2) semoga
kemasyhuran mendatangi aku dan sanak saudaraku dan penahbisku, 3) semoga aku
panjang umur dan menikmati umur panjang, dan 4) dengan
hancurnya jasmani, setelah kematian, semoga aku terlahir kembali di alam yang
baik, di alam surga.
Perkawinan Menurut Agama Buddha
Tidak
sedikit orang yang mempersepsikan secara tidak tepat terkait perkawinan dalam
Agama Buddha dan menganggap Sang Buddha sebagai orang yang anti perkawinan dan
menganjurkan kepada para siswanya untuk meninggalkan kehidupan rumah tangga.
Pendapat tersebut tidaklah tepat. Mengapa? Karena hingga saat ini kami
(penulis) tidak pernah menemukan satupun sutta yang berisikan tentang anjuran
kepada umat harus meninggalkan kehidupan berumah tangga. Sang Buddha tidak
pernah melarang dan tidak pernah menganjurkan kepada para siswanya untuk
menjadi bhikkhu. Beliau memberikan kebebasan, umat Buddha dipersilahkan untuk
memilih salah satu diantaranya, yaitu meninggalkan kehidupan rumah tangga
manupun menikah dan membentuk keluarga bahagia. Sang Buddha merestui pernikahan
antara dua insan yang benar-benar berkomitmen dan mampu menjalankan kehidupan
pernikahan mereka sesuai dengan Dhamma sehingga berhasil mencapai
tingkat-tingkat kesucian.
Perkawinan
dalam Agama Buddha adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang
sejahtera dan bahagia sesuai Dhamma (Hitāya Sukhāya).
Perkawinan
Harmonis
Keharmonisan dalam hubungan suami isteri dalam membangun
bahtera rumah tangga menjadi prasarat utama untuk membangun keluarga bahagia
dan sejahtera. Dalam Aṅguttara Nikāya II. 55, pada saat Sang Bhagavā sedang
menetap di tengah-tengah penduduk Bhagga, di Suṃsumāragira, di Taman Rusa di
Hutan Bhesakalā. Pada saat itu beliau membabarkan ajaranya kepada sepasang
suami istreri (Nakulapitā : suami dan
Nakulamātā : isteri) tentang
dasar-dasar perkawinan yang harmonis, serasi, selaras, dan seimbang bukan hanya
dalam kehidupan saat ini tetapi juga kehidupan mendatang. Beliau menyatakan
sebagai berikut : “Perumah-tangga, jika baik istri maupun suami ingin dapat
saling bertemu satu sama lain bukan hanya dalam kehidupan ini tetapi juga dalam
kehidupan mendatang, maka mereka harus memiliki keyakinan yang sama, perilaku
bermoral yang sama, kedermawanan yang sama, dan kebijaksanaan yang sama. Maka
mereka akan dapat senantiasa saling bertemu satu sama lain bukan hanya dalam kehidupan
ini tetapi juga dalam kehidupan mendatang”.
Menurutt
Tanhadi, dalam Sumagadhavadana dikatakan bahwa Anathapindika
memohon nasehat berkaitan dengan putrinya, dengan berkata : “Putri kami
Sumagadha sekarang telah dewasa, putra Natha, pedagang gula, seorang pemuda
bernama Vrisabhadatta telah melamar untuk menikahinya. Mengingat bahwa Sang Bhagavā adalah pembimbing kami dalam segala kegiatan serta
guru bagi kehidupan kami, kami mohon petunjuk atas persoalan ini: Apakah putri
kami memang berjodoh dengan pemuda ini?” Sang Bhagavā menyetujui pasangan tersebut sehingga
dilangsungkanlah perkawinannya.
Pasangan Suami Isteri
Keluarga yang
harmonis, bahagia, dan sejahtera memang menjadi idola semua umat awam, namun
tidak sedikit yang kandas di tengah jalan. Berangkat dari kenyataan tersebut,
Sang Buddha membabarkan ajarannya tentang empat cara hidup bersama bagi seorang
suami isteri dalam Aṅguttara Nikāya II. 53, yaitu : 1) ketika pasangan suami isteri keduanya
tidak bermoral, kikir dan kasar, suami dan istri hidup bersama sebagai
orang-orang malang, 2) sang suami tidak bermoral, kikir dan kasar, tetapi
istrinya bermoral, murah hati, dermawan. Ia adalah deva perempuan yang hidup bersama dengan suami malang, 3)
sang suami adalah bermoral, murah hati, dermawan, tetapi istrinya tidak
bermoral, kikir dan kasar. Ia adalah seorang malang yang hidup bersama dengan
suami deva, dan 4) suami dan istri keduanya memiliki keyakinan, murah hati dan
terkendali oleh diri sendiri, menjalani hidup mereka dengan kebaikan, saling
menyapa satu sama lain dengan kata-kata yang isterinya. Pasangan keempat adalah pasangan yang
dipuji oleh Sang Buddha dan menjadi tujuan hidup bersama dalam membangun
keluarga bahagia dan sejahtera.
Kewajiban
Janji
perkawinan merupakan langkah awal dalam memasuki kehidupan rumah tangga, oleh
karena itu harus disadari bahwa masing-masing pihak memiliki kekurangan dan kelabihan.
Keduanya harus dijadikan sebagai tali ikat dalam memenuhi hak dan kewajiban
setiap anggota keluarganya. Keluarga bahagia akan terwujud apabila
masing-masing anggota keluarganya terlenih dahulu memenuhi kewajibannya, bukan
berlomba-lomba menuntut hak.
Agama Buddha
tidak dibahas secara spesifik tentang hak seseorang, tetapi hanya dibahas
tentang kewajiban seseorang sesuai dengan kedudukan masing-masing. Terkait
dengan kewajinan seorang suami, dalam Maṅgala
Sutta bait kelima yang berbunyi sebagai berikut : "Mātāpituupaṭṭhānaṁ, puttadārassa saṅgaho, anākulā ca kammantā,
etam maṅgalamuttamaṁ". Artinya, menyokong
dan merawat ayah dan ibu, membahagiakan anak dan istri, pekerjaan yang bebas
dari keruwetan, itulah berkah utama.
Menurut
Dīgha Nikāya III. 31, terdapat
lima kewajiban bagi seorang suami dalam melayani istrerinya sebagai berikut :
1) menghormati isterinya, 2) bersikap lemah lembut terhadap isterinya, 3)
bersikap setia terhadap isterinya, 4) memberikan kekuasaan tertentu kepada
isterinya, dan 5) memberikan atau menghadiahkan perhiasan kepada isterinya.
Atas
perlakuan yang diterimanya dari seorang suami yang baik, dalam Dīgha Nikāya III. 31
disebutkan bahwa seorang isteri yang mencintai suaminya mempunyai
lima kewajiban sebagai berikut: 1) melakukan semua tugas kewajibannya dengan
baik, 2) bersikap ramah kepada keluarga dari kedua belah pihak, 3) setia kepada
suaminya, 4) menjaga baik-baik barang-barang yang dibawa oleh suaminya, dan 5 )
pandai dan rajin dalam melaksanakan semua pekerjaannya.
Dari
beberapa Sutta tersebut menunjukkan bahwa suami sebagai kepala rumah tangga dan
isteri sebagai ibu rumah tangga, keduanya berkewajiban untuk melaksanakan
kewajibanya, membahagiakan anak-anaknya, menyokong dan merawat kedua orang
tuanya, serta melimpahkan jasa kepada leluhurnya.
Implementasi Pelayanan Perkawinan Umat Buddha
Sebagaimana telah disebutkan didepan bahwa setiap warga bangsa
memiliki hak dan kedudukan hukum yang sama, termasuk umat Buddha. Pelayanan perkawinan
bagi umat Buddha secara umum telah dilaksanakan mengikuti peraturan perundangan
yang berlaku. Masing-masing Majelis Agama Buddha telah berjuang untuk melayani
umatnya dengan melakukan pemberkatan perkawinan dan melakukan pencatatan
perkawinan di Catatan Sipil setempat. Namun demikian, secara faktual memang
belum berjalan maksimal, masih bolong disana sini karena adanya berbagai
kendala, yaitu : 1) adanya keterbatasan pengetahuan umat tentang perkawinan
dalam Agama Buddha, 2) adanya perbedaan nama dan marga pada dokumen
kependudukan yang dimilikinya, 3) kurangnya sosialisasi pelayanan perkawinan pada
usia pra nikah, 4) masih adanya umat Buddha yang telah melakukan pemberkatan
perkawinan namun belum mencatatkannya di Catatan Sipil, dan 5) merebaknya wabah
Covid 19.
Gerakan Peningkatan Pelayanan Perkawinan Umat Buddha
Seperti yang telah
kita rasakan bersama bahwa upaya gotong royong antara pemerintah, majelis,
lembaga, yayasan, dan umat Buddha telah melakukan berbagai upaya untuk
meningkatkan pelayanan perkawainan terhadap umatnya.
Dalam rangka
peringatan Waisak Tahun 2020 Panitia Dhammasanti Waisak Prov. Kalimantan Barat telah
berencana untuk melakukan pemberkatan masal sebanyak 500 pasang namun terpaksa
dibatalkan akibat wabah Covid 19. Meskipun demikian, kita tidak boleh patah
arang untuk memberikan pelayanan perkawinan, tetapi tidak boleh abai. Harus
ketat menerapkan protokol kesehatan 5M.
Ada beberapa upaya
yang telah dilakukan untuk meningkatkan pelayanan perkawinan terhadap umat
Buddha melalui pemberkatan dan pencatatan perkawinan masal, yaitu : 1) Kabupaten Mempawah sebanyak 288 pasang, 2 Kabupaten Sambas
sebanyak 125 pasang, 3) Kabupaten Landak sebanyak 75 pasang, 4) Kabupaten
Kuburaya sebanyak 200 pasang, dan 5) Kota
Pontianak sebanyak 441 pasang.
Masih banyak langkah yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan pelayanan perkawinan, diantaranya adalah : 1) membangun koordinasi
yang baik antar majelis dan lembaga keagamaan Buddha, 2) tetap melayani
pemberkatan perkawinan dan pencatatan perkawinan namun tetap mentaati protokol
kesehatan, 3) melakukan pembenahan dokumen kependudukan dan berkas perkawinan,
4) meningkatkan pemahaman masyarakat tentang perkawinan menurut Agama Buddha melalui
sosialisasi secara online.
PENUTUP
Kesimpulan
Perkawinan merupakan pintu gerbang dalam membangun keluarga
yang langgeng. Bangunan keluarga tersebut akan semakin kokoh jika mereka
memiliki tujuan yang jelas dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang makna
perkawinan menurut Agama Buddha.
Upaya untuk membangun keluarga bahagia dan sejahtera (Hitāya Sukhāya) dapat terwujud jika pasangan suami isteri dapat mentaati azas monogami
yaitu perkawinan antara seorang laki-laki yang baik (dewa) dengan
seorang perempuan yang baik (dewi).
Nilai-nilai keyakinan dan moralitas merupakan soko guru
untuk membangun keluarga bahagia dan sejahtera. Namun demikian hal itu akan
sulit terwujud apabila tidak dilengkapi dokumen kependudukan, salah satunya
adalah dokumen perkawinan.
Pelayanan
perkawinan, pemberkatan dan pencatatan perkawinan masal merupakan bukti dan
langkah nyata peningkatan pelayanan perkawinan terhadap umat Buddha. Korelasi
dan dampak positif amat dirasakan di masyarakat oleh karena itu kegiatan
semacam ini handaknya terus ditingkatkan. Disamping itu, tetap harus dilakukan
secara hati-hati dan mengikuti ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
Tahap selanjutya adalah dilakukan pengesahan anak melalui catatan pinggir atau
pengesahan anak melalui sidang di pengadilan setempat.
Semangat melayani, semangat mengabdi kepada umat Buddha
merupakan modal dasar dalam mematahkan berbagai hambatan pelayanan perkawinan.
Yakinlah bahwa seberat apapun kendala yang dihadapi, pasti ada jalan keluarnya.
Saran
Pelayanan
perkawinan merukakan kebajikan yang tak terhingga, oleh karena itu saya
mengajak untuk berdiri tegak mengembangkan Buddha Dhamma. Tuntun dan bimbinglah
umat kita yang belum memahami tentang perkawinan menurut Agama Buddha, bantu
mereka yang mengalami kesulitan atau beberapa kendala sehingga mereka dapat
mengikuti pemberkatan perkawinan dan mentatatkannya di Catatan Sipil setempat.
Oleh: Saryono, S.Ag., M.Pd
DAFTAR PUSTAKA
Dīgha Nikāya, 2009, Team Giri Mangala Publication, Team DhammaCitta Press, Jakarta.
Edi Wijaya dan Indra Anggara, 2015 " Aṅguttara
Nikāya II" DhammaCitta Press, Jakarta.
Tanhadi : (https://artikelbuddhist.com) 15 Februari
2021.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan.
0 komentar:
Posting Komentar